Selasa, 14 April 2015

PETA KONSEP MENGENAI ALUR PIKIR SISWA DALAM BELAJAR


PETA KONSEP MENGENAI ALUR PIKIR SISWA DALAM BELAJAR

Oleh :
SASI MARDIKARINI
NIM 14712251004
PRODI PENDIDIKAN DASAR
KONSENTRASI PRAKTISI (GURU KELAS)

A.  Review mengenai berbagai macam theory atau alur pikir siswa

1.    Behaviorism Theory

Teori belajar behavioristik adalah sebuah teori yang dicetuskan oleh Skinner. Dalam teori ini, dijelaskan bahwa perubahan tingkah laku pada diri anak terjadi karena adanya interaksi antara stimulus dan respon (Slavin, 2000:143). Manurut Skinner, hubungan stimulus dan respon yang terjadi tersebut melalui interaksi antara lingkunganya, dan kemudian menimbulkan perubahan perilaku pada diri anak tidaklah sesederhana yang dikemukakan.  Skinner berpendapat antar stimulus yang diberikan juga saling berinteraksi/ berpengaruh hingga terjadinya sebuah respon. Respon-respon yang dihasilkan juga akan memberikan konsekuensi-konsekuensi tertentu dan berbeda-beda. Konsekuensi inilah yang nantinya akan mempengaruhi munculnya perilaku yang diinginkan.

Maka dari itu, guru harus dapat memberikan stimulus yang baik kepada peserta didik, dapat berupa motivasi, semangat, masukan, bantuan, fasilitator,dll agar nantinya antar stimulus yang baik tersebut akan muncul respon yang baik yaitu respon yang diharapkan oleh guru dalam proses pendidikan siswa. Selain itu, stimulus yang diberikan juga harus dilakukan terus-menerus kepada siswa dan juga guru memperhatikan respon yang diberikan siswa dari stimulus yang diberikan sehingga perubahan perilaku.

2.    Social Cognitive Theory

Bandura dalam Schunk (2012:165) menjelaskan bahwa perubahan yang terjadi pada diri manusia tidak hanya dipengaruhi dan didorong oleh oleh kekuatan dalam diri seseorang saja atau didorong dan dikendalikan oleh rangsangan internal saja, namun perubahan yang terjadi dalam diri seseorang terjadi karena beberapa factor antara lain adalah 1) Person (factor dorongan internal), 2) Behavior (dipengaruhi oleh dukungan dari luar dirinya), dan 3) Situation (kondisi yang memungkinkan untuk melakukan perubahan). Tiga faktor yang saling berinteraksi tersebut memberikan keyakinan (Self-efficacy) akan kemampuan siswa mengorganisaiskan apa yang ia dapat dalam belajar.

Aplikasi dalam pembelajaran yaitu ketika guru memberikan sebuah pelajaran kepada siswa, siswa memikirkan apa yang dikatakan gurunya (lingkungan mempengaruhi kognisi), lalu ketika siswa tidak mengerti tentang penjelasan guru, siswa mengangkat tangan untuk bertanya (kognisi mempengaruhi perilaku), selanjutnya guru mengulang penjelasanya (perilaku mempengaruhi lingkungan). Selanjutnya guru memberikan tugas kepada siswa (lingkungan mempengaruhi kognisi, dan kemudian mempengaruhi perilaku), dan siswa mengerjakanya dengan baik (perilaku mempengaruhi kognisi).

3.    Cognitive Information Processing

Teori ini mengedepankan bahwa individu memanipulasi, memonitor, dan menyusun strategi terhadap informasi –informasi yang ditemukanya. Teori ini hampir serupa dengan teori Vygotsky. Dalam teori pemrosesan informasi, tidak mendeskripsikan perkembangan dalam dala bentuk tahapan, melainkan secara bertahap individu mengembangkan kapasitasnya untuk memperoleh pengetahuan dan keterampilanya secara kompleks (Santrock, 2012:29). Menurut Robert Siegler dalam Santrock (2012:29) ketika individu menangkap, encoding, menampilkan, menyimpan dan mengeluarkan kembali informasi maka mereka sedang berfikir. Aspek penting dari perkembangan adalah pembelajaran mengenai strategi yang baik untuk memproses informasi.
Sebagai seorang guru sebaiknya menggunakan strategi yang tepat dalam membelajarkan siswa, karena dalam proses belajar itulah pemrosesan informasi berlangsung. Tanpa strategi pembelajaran yang baik dan menarik, tidak akan ada pemrosesan informasi yang maksimal karena proses menangkap, encoding, menampilkan, menyimpan tidak berlangsung secara maksimal.

4.    Meaningful Learning Theory

Teori pembelajaran bermakna diperoleh oleh Ausubel. Ausubel dalam Dale H. Schunk menjelaskan bahwa belajar menjadi bermakna ketika materi yang baru memiliki hubungan sistematis dengan konsep-konsep yang relevan dalam memori jangka panjang (Long Term Memory). Yang berarti bahwa materi baru memperluas, memodifikasi, atau mengembangkan informasi dalam memori. Ausubel mendukung pengajaran deduktif, dimana ide-ide umum diajarkan terlebih dahulu baru diikuti poin-poin spesifik. Dalam hal ini guru harus membantu siswa memecahkan ide-ide menjadi poin-poin kecil dan spesifik, dan menghubungkan ide-ide baru dengan muatan yang serupa di dalam memori. Tujuan dari pembelajaran yang bermakna menurut Ausubel adalah mengembangkan jaringan proporsi dalam LTM dengan menambahkan pengetahuan dan membangun hubungan antar jaringan. Jadi guru menurut teori Ausubel memegang peranan yang besar untuk membukka memori jangka panjang siswa, memodifikasi model, memperluas pengetahuan memori menjadi memori baru yang lebih kompleks.

5.    Developmental Approach

Pendekatan perkembangan merupakan rangkaian teori perkembangan yang sangat kompleks, karena didalamnya banyak teori yang landasann utama dari perkembangan yaitu teori biologi, psikoanalitik, perilaku, kognitif, dan kontekstual (Meece dalam Dale H. Schunk, 2012:611). Menurut teori biologi, individu berjalan melalui urutan tahapan yang tidak bervariasi. Teori psikoanalitik menjelaskan bahwa kunci proses perkembangan menampilkan serangkaian perubahan di dalam kepribadian yang dibawa oleh pemenuhan kebutuhan. Tahapan memiliki sifat yang berbeda secara kualitatif. Pencetus teori ini adalah Sigmund Freud dan Eric Ericson. Anak berinteraksi dengan lingkungan untuk memenuhi kebutuhan, dan keberhasilan mereka dalam menyelesaikan konflik berhubungan dengan pemenuhan kebutuhan yang mempengaruhi kepribadian. Teori perilaku menjelaskan bahwa perubahan perkembangan utama terjadi sebagai akibat dari pengkondisian. Teori perilaku ini menjelaskan bahwa perubahan utama dalam perilaku berasal dari lingkungan, yang memberikan stimulus yang direspon anak dan pelaksanaan hukuman sebagai konsekuensi tindakan mereka.

Teori kognitif berfokus pada perkembangan yang menampilkan perubahan dalam struktur mental atau proses yang terjadi saat individu menerima informasi dan secara mental menyusun pemahaman. Teori kognitif bersifat interaktif karena teori ini menjelaskan perkembangan dalam interaksi antara faktor pribadi perilaku dan lingkungan. Pendukung dari teori kognitif ini adalah teori piaget, Bruner, Vygotsky, Teori pengolahan informasi, dan teori kognitif sosial. Dalam teori Piaget dijelaskan bahwa pemahaman yang dimiliki siswa dipengaruhi oleh tahap-tahap perkembanganya yaitu tahap sensorimotor (0-2 tahun), tahap praoperasional konkret (2-7 tahun), tahap operasional konkret (7-12 tahun), dan tahap operasional formal (12-dewasa). Teori kontekstual menjelaskan bahwa faktor sosial dan budaya mempengaruhi perkembangan. Perubahan dalam diri seseorang atau situasi berinteraksi dan memengaruhi perubahan lainnya. Teori psikososial dicetuskan oleh Bronfenbrenner yang menjelaskan bahwa dunia sosial anak dapat dikonsepkan sebagai satu set lingkaran yang saling bersinggungan  yaitu antara sekolah, teman dan keluarga.

6.    Social Formation Theory

Teori ini dikembangkan oleh seorang psikolog yang bernama Lev Vygotsky. Teori informasi sosial fokus pada proses sosial dan budaya yang mengarahkan pada perkembangan kognitif anak. Teori ini menekankan pada keterlibatan aktif anak pada lingkunganya, pertumbuhan kognitif sebagai sebuah proses kolaborasi, dan setiap individu belajar melalui interaksi sosial. Mereka mendapatkan keterampilan kognitif sebagai bagian dari pengenalan tentang cara hidup. Berbagai aktivitas, membantu anak menginternalisasi mode-mode lingkungan sosial untuk berfikir dan berperilaku dan memproses mereka untuk membuat cara mereka sendiri. Menurut Vygotsky, orang dewasa atau teman sebaya yang lebih maju terus membantu mengarahkan dan mengatur belajar anak sebelum anak dapat menguasai dan menginternalisasi dalam diri anak. Pedoman ini mendukung anak untuk melewati Zone of Proximan Development (ZPD) atau zona perkembangan proximal. ZPD adalah celah seorang anak antara apa yang telah berhasil dilakukan oleh dirinya sendiri dan apa yang bisa dicapainya karena pendampingan dari orang sekitarnya. Instruksi yang sensitif dan efektif harus diberikan oleh orang di skeitarnya hingga kemudian anak bisa memonitor dan mengarahkan tahapan belajarnya sendiri. Hal ini disebut Scaffolding yaitu dukungan sementara dari orang tua, guru, dll yang diberikan ke anak untuk melakukan tugasnya hingga anak bisa melakukanya sendiri.



7.    Representation and Discovery learning

Representation merupakan penjelasan kembali atau penjelasan ulang mengenai apa yang pernah diingat atau dijelaskan terdahulu. Aplikasinya dalam pendidikan adalah bahwa seorang guru dapat mengingatkan kembali tentang sesuatu yang pernah diajarkanya dahulu, materi sebelumnya, ingatan masa lalu, yang biasa dilakukan,dll untuk mengawali pemberian informasi baru kepada peserta didik. Informasi baru yang diterima siswa nantinya merupakan pengembangan dari pendidikan atau ilmu yang pernah dimiliki oleh siswa sebelumnya. Setelah siswa mengingat kembali dengan bantuan guru melalui media apapun, selanjutnya adalah tahap pengembangan informasi baru dengan menggunakan teknik Discovery Learning.

Discovery Learning merupakan bentuk aplikasi dari teori umum konstrutivistik yang didukung oleh beberapa tokoh besar seperti John Dewey, Vygotsky dan Jerome Bruner. Menurut John Dewey pembelajaran di sekolah harus bersifat aktif, langsung terlibat, dan berpusat pada siswa dalam konteks pengalaman sosial. Selain itu, menurut John Dewey dalam Sugihartono,dkk (2013: 323) belajar bergantung pada pengalaman dan minat siswa sendiri serta topik dalam kurikulum yang seharusnya saling terintegrasi bukan terpisah atau tidak punya kaitan satu sama lain. Selain itu Jerome Bruner juga menjelaskan bahwa pembelajaran bukan ditentukan dari usia namun ditentukan dari proses yang dilakukan untuk belajar. Belajar akan lebih diterima jika siswa menemukan sendiri konsep pembelajaran yang diberikan dengan proses dan metode yang tepat yang dilakukan gurunya. Misalnya guru menggunakan metode PBL dimana kegiatan dimodifikasi untuk menemukan solusi dari masalah yang diberikan guru atau siswa untuk mencoba sendiri praktik yang sesuai dengan pembelajaran yang diberikan. Dari sini konsep akan ditemukan siswa sendiri dan dipahami karena siswa tidak hanya melihat penjelasan guru tetapi juga mempraktikannya sendiri.

8.    Constructivist Approach

Menurut Cobb & Bowers dalam Dale H. Schunk (2012: 323) Konstruktivisme menyoroti interaksi orang-orang dan situasi-situasi dalam penguasaan dan penyempurnaan keterampilan-keterampilan dan pengetahuan. Konstruktivisme memiliki asumsi yang senada dengan teori kognitif sosial yang menyatakan bahwa orang, perilaku, dan lingkungan berinteraksi secara timbal balik. Teori ini didukung oleh beberapa tokoh antara lain John Dewey, Jean Piaget, Jerome Bruner, dan Lev Vigotsky. John Dewey berpendapat bahwa belajar bergantung pada pengalaman dan minat siswa sendiri serta topik dalam kurikulum yang seharusnya saling terintegrasi bukan terpisah atau tidak punya kaitan satu sama lain. Belajar harus bersifat aktif, langsung terlibat, dan berpusat pada siswa dalam konteks pengalaman sosial. Contoh pembelajaran guru dapat menggunakan kegiatan PBL.

Menurut Jean Piaget, pengamatan sangat penting dan menjadi dasar dalam menuntun proses berfikir anak, berbeda dengan kegiatan melihat yang hanya melibatkan mata, pengamatan melibatkan seluruh indra, menyimpan kesan lebih lama dan menimbulkan sensasi yang membekas pada siswa. Dalam pembelajaran diharapkan siswa mengalami dan terlibat langsung dalam pembelajaran. Menurut Piaget dalam Sugihartono (2013:110) proses belajar terdiri dari 3 tahapan yaitu asimilasi, akomodasi dan equilibrasi (penyeimbangan). Selanjutnya adalah Jerome Bruner yang menyatakan bahwa belajar lebih ditentukan oleh cara mengatur materi pembelajaran dan bukan ditentukan oleh umur seseorang.  Bruner menjelaskan bahwa terdapat 3 perkembangan anak dalam belajar yaitu tahap enaktif (0-3 tahun), ikonik (3-8 tahun), dan simbolik (>8 tahun). Lev Vygotsky menjelaskan bahwa belajar bagi anak dilakukan dalam interaksi dengan lingkungan sosial maupun fisik. Selain itu pembelajaran juga bersifat Scaffolding yaitu memberikan keterampilan yang penting untuk pemecahan masalah secara mandiri dengan siswa. Dengan dukungan lingkungan, siswa dapat mencapai Zone of Proximal Development yaitu tahap belajar dimana anak telah berhasil belajar dengan caranya sendiri dan apa yang bisa dicapainya dengan dukungan dan pendampingan dari lingkungan.

9.    Social Approach

Menurut Aning Buddyartie pendekatan sosial merupakan pendekatan yang memperhatikan faktor lingkungan sebagai lingkungan tinggal individu dalam perkembanganya. Titik pangkal dari sosial Approach ialah masyarakat dengan berbagai lembaganya, dan kelompok dengan berbagai aktivitas. Seperti dengan namanya, sosial approach merupakan suatu pendekatan dimana sosial merupakan faktor yang paling berpengaruh dari kegiatannya. Pendekatan sosial merupakan ilmu yang diturunkan dari berbagai teori sosial baik teori kognitif sosial maupun teori sosial lainya.  Pendukung dari teori ini antara lain teori behaviorisme, teori kognitif sosial, teori informasi sosial dan teori Lev Vygotsky. Beberapa teori tersebut mendasari perkembangan seseorang dipengaruhi oleh lingkungan, dan banyak faktor luar.

Misalnya dalam teori kogntiif sosial Bandura, menjelaskan bahwa pendidikan bukan hanya dipengaruhi dari dalam diri siswa sendiri namun dari lingkungan yang salah satunya adalah guru. Guru atau pendidik memiliki peran yang sangat penting dalam pembelajaran sebagai fasilitator yang menjembatani teori abstrak dari para ahli agar sampai kepada peserta didik dan dapat tersimpan dalam memori sebagai kegiatan yang bermakna. Dalam hal ini guru harus dapat merancang pembelajaran dengan semenarik mungkin, membuat kegiatan pembelajaran dimana siswa tidak hanya melihat namun beraktifitas juga dalam kegaitan tersebut. Dengan hal ini siswa dapat berinteraksi dengan pembelajaran secara langsung.

10.     Technological Approach

Berasal dari teori psikologis kecerdasan, Howard Gardner menjelaskan bahwa teknologi dapat mendukung penyampaiaan di bidang pendidikann di dalam kelas. Menurut Howard Gardner kecerdasan seseorang terdiri dari beberapa titik yaitu kecerdasan linguistik, kecerdasan logis matematis, kecerdasan spasial, kecerdasan kinestetik atau jasmani, kecerdasan musikal, kecerdasan interpersonal, kecerdasan intreapersonal, dan kecerdasan naturalistik. Berbagai kecerdasan tersebut tidak dimiliki oleh semua siswa namun menonjol salah satu pada diri siswa. Sebagai guru kita harus mampu memahami kecerdasan apa yang yang dimiliki siswa, dan bagaimana guru bisa menggunakan dan mengembangkan kecerdasan tersebut dalam pembelajaran.

Menurut Gardner, teknologi dapat sangat membantu untuk mencari solusi dalam menyampaikan materi sesuai dengan kecerdasan siswa. Teknologi dapat digunakan sebagai sumber belajar guru maupun siswa, sebagai media, sebagai inovasi, maupun tambahan informasi. Gardner menjelaskan bahwa mustahil seorang guru dapat menerapkan pembelajaran tradisional dalam ruang kelas dan dapat mengakomodasi gaya belajar puluhan siswa jika tanpa teknologi. Dengan teknologi, guru dapat menyediakan alat dan belajar yang sesuai dengan kecerdasan siswa.

B.  Menghubungkan berbagai macam Teori Belajar/Alur Pikir siswa tersebut dan mampu menjelaskan baik secara lisan maupun tertulis.

Dari berbagai teori yang ada tersebut dapat disimpulkan bahwa masing-masing teori masih saling berhubungan. Teori behaviorisme, teori kognitif sosial, teori pemrosesan informasi, teori pembelajaran bermakna, dan teori formasi sosial merupakan 5 teori besar yang digunakan sebagai teori besar dalam bidang pendidikan. Dalam bidang pendidikan bukan kognitif saja sebagai tujuanya, namun ada banyak perubahan yang mendukungnya yaitu perubahan tingkah laku para peserta didik, sikap peserta didik, dan juga kognitif. Karena yang diharapkan berubah dalam pendidikan bukanlah hanya kepintaran atau IQ semata, namun ada hal-hal lain di bidang sosial yang harus dikembangkan. Selain itu, untuk menjadikan pendidikan bisa tercapai dari sisi kognitif, afektif, dan psikomotor, seorang guru harus dapat mengolah pembelajaran menjadi pembelajaran yang bermakna bagi siswa seperti yang diharapkan oleh teori pembelajaran bermakna. Pembelajaran bermakna merupakan pembelajaran yang dapat tersimpan dalam memori jangka panjang siswa.
Untuk menurunkan teori-teori tersebut menjadi aplikasi dalam pembelajaran membutuhkan beberapa pendekatan seperti pendekatan perkembangan, pendekatan konstruktifistik, pendekatan sosial, dan juga pendekatan teknologi. Pendekatan perkembangan menjelaskan bagaimana tahap-tahap perkembangan siswa sesuai dengan usianya untuk bisa dipahami oleh guru sebagai acuan dalam mendidik siswa. Pendekatan konstruktifistik mempelajari bagaimana sebaiknya pembelajaran dibangun oleh siswa. Pendekatan sosial menekankan bahwa dalam pendidikan perubahan terjadi bukan hanya dibangun dari diri siswa saja namun juga karena pengaruh lingkungan antara lain lingkungan keluarga, lingkungan teman, lingkungan sekolah, lingkungan kelas, lingkungan rumah,dll. Pendidikan juga tidak dapat seterusnya berjalan dengan kegiatan kontektual di dalam kelas karena anak memiliki multiple intelegency yang harus dipahami oleh guru dan dikembangkan.

Beberapa intelegensi siswa tersebut sebaiknya digunakan dalam pembelajaran untuk memudahkan siswa menerima materi yang diberikan oleh gurunya. Salah satu cara adalah dengan bantuan teknologi, karena dengan teknologi kita dibantu untuk membuat berbagai media dan kegiatan yang sesuai dengan intelegensi siswa, sesuai dengan karakter siswa, dan dapat bervariasi juga. Dengan berbagai penjelasan tersebut dapat disimpulkan bahwa pendidikan merupakan sesuatu yang kompleks yang didalamnya terkandung berbagai macam faktor yang mempengaruhinya, antara lain :

1.  Kemauan dari diri siswa itu sendiri untuk berubah, untuk belajar. Kesenangan, keceriaan, keingintahuan siswa yang akan membuat siswa mudah menerima pembelajaran.
2.    Apa yang dilakukan guru. Dalam hal ini tugas guru adalah sebagai motivator, sebagai ide utama untuk menjalankan pembelajaran. Bagaimana pembelajaran terbentuk semua tergantung inovasi, dan kemauan guru untuk merubahnya. Banyak metode yang bisa dilakukan guru seperti PBL, Colaborative Learning, dll yang dapat mengaktifkan siswa karena siswa akan lebih bermakna jika dia tidak hanya melihat dan mendengarkan saja, namun dia mencoba sendiri dan menemukan sendiri pemahaman konsepnya. Dalam hal fasilitas pembelajaran juga menjadi pikiran guru agar kegiatan pembelajaran berjalan dengan baik.
3.    Lingkungan sekitar siswa juga merupakan pendukung besar dalam perubahan pendidikan. Bagaimana orang tua membimbing siswa di rumah, bagaimana lingkungan rumahnya dalam belajar juga akan mendukung semangat atau tidaknya siswa dalam belajar.


Kesimpulann utama adalah bahwa berbagai macam teori ini saling berhubungan dalam perkembangan siswa baik dalam hal kognitif, perilaku, kontekstual, psikoanalitik,dan biologi. Guru sebagai orang tua di sekolah memiliki peranan yang sangat besar pada perubahan siswa. Untuk mencapai perubahan yang baik guru harus dapat membuat pembelajaran menjadi bermakna, menjadi Long Term Memory. Pembelajaran juga membutuhkan banyak teknologi terkini untuk membuat variasi pada aplikasi pembelajaran. 

C. Peta konsep menurut berbagai teori dan pendekatan


D.  Peta konsep menurut alur pikir siswa


A.  Sumber
Dale H. Schunk. 2012. Learning Theories An Educational Perspective. Jakarta : Pustaka Pelajar. (Buku Terjemahan).
Diane E. Papalia & Ruth Duskin Feldman. 2015. Menyelami Perkembangan Manusia. Jakarta : Salemba Humanika. (Buku Terjemahan)
John S. Santrock. 2014. Life-Span Development. Jakarta : Erlangga (Buku Terjemahan)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar