Selasa, 16 Juni 2015

REFLEKSI KEGIATAN LESSON STUDY YANG DILAKSANAKAN DI SD NEGERI SODO PADA TANGGAL 23 MEI 2015.

REFLEKSI KEGIATAN LESSON STUDY YANG DILAKSANAKAN DI SD NEGERI SODO PADA TANGGAL 23 MEI 2015.

Kegiatan Lesson Study kelas Praktisi dan kelas P2TK dilaksanakan pada hari Sabtu, 23 Mei 2015 di SD Negeri Sodo, Palian, Gunung Kidul. Kegiatan Lesson Study dilakukan di kelas IV dengan guru Sri Indah, S,Pd. dan Wulan Setyaningsih,S.Pd. Mata pelajaran yang diberikan adalah Matematika, Bahasa Indonesia, dan SBDP dimana tema yang diangkat adalah cita-citaku. Matematika yang diangkat dalam kegiatan Lesson Study adalah jaring-jaring kubus, materi bahasa Indonesia mengenai memahami petunjuk atau perintah, dan SBDP mengenai cara merangkai dan membuat jaring-jaring kubus.
Kegiatan dimulai dengan apersepsi dimana guru meminta siswa untuk mengambar cita-cita siswa dalam sebuah kertas. Kegiatan ini adalah kegiatan SBDP. Selanjutnya siswa diberikan LKS mengenai penjelasan dari apa yang mereka telah gambar. Dari kegiatan itu siswa sudah dapat mengembangkan pelajaran bahasa Indonesia mengenai cita-citaku. Menurut saya, apersepsi memang faktor penting dalam poembelajaran, karena dalam apersepsi membuka dan menghubungkan memori lama siswa, menghubungkan pengalaman siswa dengan tugas dan materi yang akan diberikan oleh guru. Namun, dalam pelaksanaannya menurut observer kegiatan aperpespi kemarin terlalu lama. Kegiatan apersepsi memang sangat penting pada siswa, namun waktu yang digunakan untuk melakukan kegiatan apersepsi ini tidak terlalu lama sekitar 10-15 menit saja, sedangkan yang terjadi kemaren lebih dari 20 menit.
Selanjutnya, kegiatan dilanjutkan dengan kegiatan kelompok dimana siswa diberi media nyata berupa kubus yang di dalamnya terdapat beberapa hadiah untuk siswa. Refleksi dari observer adalah mengapa yang ada di dalam kubus tersebut adalah makanan seperti mie instan, bakpia, thiwul, bolpoin, dan penggaris? Hal ini masih menjadi ganjalan bagi observer. Menurut observer, sebaiknya apa yang ada di dalam kubus tersebut adalah hal-hal yang berhubungan dengan materi matematika khususnya bangun kubus seperti tempat sabun, dan bangun ruang lainnya yang bukan kubus dengan ukuran yang lebih kecil sehingga dapat digunakan sebagai media lainnya yang mendukung pembelajaran, baik yang sudah pernah diajarkan, sedang diajarkan, maupun materi selanjutnya yang akan diajarkan pada pertemuan selanjutnya. Dari LKS ini siswa dapat membuka, menggunting benda tersebut menjadi potongan benda 2 dimensi dan dapat disusun oleh siswa menjadi jaring-jaring kubus dalam model yang lain. Dengan kegiatan berkelompok, siswa bersama teman satu kelompokknya mereka bisa saling berbagi untuk menemukan berbagai jaring-jaring kubus. Bentuk jaring-jaring kubus tersebut digambarkan dalam kertas besar yang telah disediakan oleh guru dan diberi warna, kegiatan ini mendukung kegiatan SBDP khususnya dalam hal mewarnai, dan menggambar jaring-jaring kubus.
Dari kegiatan tutor sebaya ini, siswa dalam kelompok terlihat sangat bekerja sama, sangat mendukung untuk saling berbagi informasi dalam menentukan jaring-jaring kubus. Hasil yang didapatpun sangat beragam, masing-masing kelompok menemukan berbagai jaring-jaring kubus yang berbeda-beda dan dipajang di depan kelas serta dipresentasikan di depan kelas. Untuk menambah informasi siswa mengenai jaring-jaring kubus, siswa diminta untuk membuat satu jaring-jaring kubus besar bersama dengan teman sekelompoknya, selanjutnya dengan diskusi dan tutor sebaya siswa membuat jaring-jaring kubus dan dirangkai menjadi sebuah kubus. Dari kegiatan ini diketahui bahwa dengan berbagai bentuk jaring-jaring kubus yang berbeda, akan mendapatkan sebuah hasil yang sama yaitu sebuah kubus dengan sisi, sisi yang panjangnya sama. Kegiatan ini juga membuat siswa mengetahui apa ciri-ciri jaring-jaring kubus dan bagaimana saja bentuk jaring-jaring kubus, serta berapa jumlah jaring-jaring sebuah kubus. Untuk menyatukan materi dengan tema yang ada, maka gambar cita-cita yang telah dibuat siswa di awal pembelajaran ditempel pada sisi-sisi kubus yang telah jadi dan dijelaskan di depan kelas.

Kubus ini menceritakan dan menggambarkan berbagai cita-cita siswa yang beragam dan dari gambar tersebut guru juga dapat mendukung cita-cita siswa serta memotivasi siswa bagaimana cara mencapai apa yang diinginkan. Rangkaian kegiatan ini sangat baik dan sangat cocok diterapkan di negara kita. Dari kegiatan ini, siswa benar-benar mengeksplor pengalaman yang dia miliki dan digabungkan dengan dukungan media yang diberikan siswa sehingga siswa dapat mengumpulkan informasi mengenai jaring-jaring kubus sendiri. Model pembelajaran ini menggambarkan bahwa siswa sebenarnya bisa mengeksplor apa yang dia miliki, dan guru hanya memotivasi serta memfasilitasi siswa. Tidak harus guru yang memberikan penjelasan panjang lebar kepada siswa, namun dengan didukung dan difasilitasi dengan tepat, siswa dapat berkembang dengan sendirinya. Guru membantu siswa dengan mendekati mereka setiap mereka mengerjakan tugas dan memancing atau membantu siswa menemukan cara memahami informasi. Namun, observer melihat guru belum dapat menjangkau semua siswa selama siswa mengerjakan Lembar Kerja Siswa (LKS) maupun kegiatan lain. Selain itu, yang menjadi ganjalan dari observer adalah bahwa anggota kelompok terdiri dari 4 siswa yang beragam gender yaitu 2 laki-laki dan 2 perempuan, namun apakah anggota kelompok terdiri dari siswa yang pandai dan kurang pandai? Karena menurut observer, kegiatan tutor sebaya atau kegiatan kolaboratif ini akan lebih baik jika anggota kelompok terdiri dari anak yang memiliki kepintaran yang beragam sehingga mereka bisa saling bertukar pikiran untuk mendapatkan informasi yang baik. Jangan sampai satu kelompok terdiri dari siswa-siswa yang kurang pandai semua, dan ada kelompok lain yang terdiri dari siswa yang pandai semua. Hal tersebut jika disimpulkan akan terlihat bahwa siswa yang pandai akan dapat menyelesaikan masalah yang dihadapi dengan cepat dan siswa yang kurang pandai akan kesulitan mengumpulkan informasi.

 kegiatan sebelum lesson study



PENGEMBANGAN PERANGKAT PEMBELAJARAN BERBASIS LEARNING TRAJECTORY DI SD

TUGAS UJIAN AKHIR SEMESTER
PENGEMBANGAN PERANGKAT PEMBELAJARAN BERBASIS LEARNING TRAJECTORY DI SD



Disusun oleh:

Sasi Mardikarini
NIM 14712251004
Pendidikan Dasar
Konsentrasi Praktisi



Selasa, 21 April 2015

IDENTIFIKASI DAN PENGEMBANGAN PEMBELAJARAN MATEMATIKA DI SD MENGGUNAAN PENDEKATAN GUNUNG ES MATEMATIKA REALISTIK

IDENTIFIKASI DAN PENGEMBANGAN PEMBELAJARAN MATEMATIKA DI SD MENGGUNAAN PENDEKATAN
GUNUNG ES MATEMATIKA REALISTIK
OLEH
SASI MARDIKARINI
NIM 14712251004
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN DASAR
KONSENTRASI PRAKTISI (GURU KELAS)
PROGRAM PASCASARJANA
UNIVERSITAS NEGERI YOGYAKARTA


Matematika realistik merupakan matematika yang disajikan sebagai suatu proses kegiatan manusia, bukan sebagai produk jadi. Sedangkan Pembelajaran Matematika Realistik merupakan suatu teori belajar matematika yang disesuaikan dengan proses kegiatan manusia. Menurut Ahmad Wachidatul Qohar (2013) Teori PMR pertama kali diperkenalkan dan dikembangkan di Belanda pada Tahun 1970 oleh Institut Freudenthal.  PMR merupakan bentuk pengembangan pembelajaran dimana pengembangan teori dimulai dari keadaan nyata siswa, berproses dengan media yang tepat, diskusi, berkolaborasi dan tanya jawab antara guru dan siswa hingga siswa memahami matematika formal yang sesungguhnya.
Matematika realistik digunakan dalam pembelajaran untuk memudahkan penyampaian materi matematika dan aplikasi materi matematika dalam dunia nyata. Realistik Mathematich Education mengembangkan pembelajaran matematika dimulai dari tahap-tahapnya, yaitu tahap matematika konkret, model konkret, model formal, dan matematika formal.
Matematika konkret berisi pengalaman sehari-hari siswa atau pengalaman nyata siswa dalam kehidupan sehari-hari. Misalnya pengalaman siswa membeli jeruk di toko buah 1 kg yang berisi 6 buah. Tahap berikutnya adalah model konkret dimana pengalaman siswa tersebut dibawa ke dalam pembelajaran dan dijadikan model pembelajaran bagi guru. Model pembelajaran diusahakan merupakan sesuatu yang jelas dan nyata bisa dilihat dan berhubungan langsung dengan matematika konkret yang telah diketahui siswa. Contoh model konkret adalah guru membawa 6 jeruk tersebut ke dalam kelas.
Tahap berikutnya adalah model formal, dimana pembelajaran yang tadinya menggunakan model konkret, sedikit demi sedikit diubah menjadi ke dalam bentuk formal. Contoh bentuk model formal disini adalah setelah guru membawa 6 buah jeruk di dalam kelas, lalu meminta 4 siswa maju di depan kelas. Satu siswa berperan sebagai orang yang memiliki 6 buah jeruk, dan 3 siswa lainya bertugas menerima jeruk bagiannya. Siswa diminta membaginya secara adil satu persatu hingga habis dan terbagi rata. Dari kegiatan ini siswa mengetahui bahwa 6 buah jeruk tersebut dapat dibagi rata dengan 3 temanya, masing-masing temanya menerima 2 buah jeruk.
Sedangkan tahap terakhir adalah tahap matematika formal dimana siswa sudah dapat mengetahui bagaimana membagi 6 jeruk kepada 3 temanya. Dari tahap ini siswa sudah dapat menuliskan bahwa 6:3 = 6-2-2-2=0. Setelah itu siswa dapat menyimpulkan bahwa 6 : 3 = 2. Tahap matematika formal disini siswa sudah paham dan mengetahui makna pembagian sebagai pengurangan berulang. Berikut ini disajikan contoh mengenai pengembangan pembelajaran menggunakan gunung es matematika reaslistik.
KELAS/ SEMESTER     = 2/ (I) Satu
TEMA                          = Bermain di Lingkunganku
SUB TEMA                   = 3 (Bermain di Lingkungan Sekolah)
Pembelajaran ke            = Pembelajaran ke 1
Kompetensi Inti            = - Menerima dan Menjalankan ajaran agama 
                                        yang dianutnya.
                                            - Memiliki perilaku jujur, disiplin, tanggung jawab, santun, peduli, 
                                              dan percaya diri dalam berinteraksi dengan keluarga, teman 
                                              dan guru
   -    Memahami pengetahuan faktual dengan cara mengamati 
      (mendengar, melihat, membaca) dan bertanya berdasarkan rasa ingin   tahu tentang dirinya, makhluk ciptaan Tuhan dan kegiatannya, dan       benda-benda yang dijumpainya di rumah dan di sekolah.
-    Menyajikan pengetahuan faktuan dengan bahasa yang jelas dan logis, dalam karya yang estetis, dalam gerakan yang mencerminkan akal sehat, dan dalam tindakan yang mencerminkan perilaku anak beriman dan berakhlak mulia.

Kompetensi Dasar     = Memecahkan masalah nyata secara efektif yang berkaitan 
                                 dengan penjumlahan, pengurangan, perkalian, pembagian, waktu, 
                                 panjang, berta benda dan uang, selanjutnya memeriksa kebenaran 
                                 jawaban.
INDIKATOR          = - Menentukan gambar yang bersesuaian dengan pembagian yang  
                                   ditentukan.
                                -    Dari menentukan gambar, siswa memahami salah satu sifat-sifat 
                                   pembagian sebagai pengurangan yang berulang.

Berikut ini digambarkan sebuah gunung es pengembangan pembelajaran dengan menggunakan matematika realistik. Gambar ini menjelaskan tahapan dari pembelajaran dengan menggunakan matematika realistik untuk menjelaskan pembagian sebagai pengurangan berulang untuk siswa kelas 2.


Sumber

Ahmad Wachidatul Qohar. 2013. Diunggah tanggal 7 Mei 2013, Diunduh tanggal 21 April 2015 dari https://bangqohar.wordpress.com/2013/05/07/bangsa-belanda-sang-perintis-pembelajaran-matematika-realistik-yang-mendunia/


Selasa, 14 April 2015

PETA KONSEP MENGENAI ALUR PIKIR SISWA DALAM BELAJAR


PETA KONSEP MENGENAI ALUR PIKIR SISWA DALAM BELAJAR

Oleh :
SASI MARDIKARINI
NIM 14712251004
PRODI PENDIDIKAN DASAR
KONSENTRASI PRAKTISI (GURU KELAS)

A.  Review mengenai berbagai macam theory atau alur pikir siswa

1.    Behaviorism Theory

Teori belajar behavioristik adalah sebuah teori yang dicetuskan oleh Skinner. Dalam teori ini, dijelaskan bahwa perubahan tingkah laku pada diri anak terjadi karena adanya interaksi antara stimulus dan respon (Slavin, 2000:143). Manurut Skinner, hubungan stimulus dan respon yang terjadi tersebut melalui interaksi antara lingkunganya, dan kemudian menimbulkan perubahan perilaku pada diri anak tidaklah sesederhana yang dikemukakan.  Skinner berpendapat antar stimulus yang diberikan juga saling berinteraksi/ berpengaruh hingga terjadinya sebuah respon. Respon-respon yang dihasilkan juga akan memberikan konsekuensi-konsekuensi tertentu dan berbeda-beda. Konsekuensi inilah yang nantinya akan mempengaruhi munculnya perilaku yang diinginkan.

Maka dari itu, guru harus dapat memberikan stimulus yang baik kepada peserta didik, dapat berupa motivasi, semangat, masukan, bantuan, fasilitator,dll agar nantinya antar stimulus yang baik tersebut akan muncul respon yang baik yaitu respon yang diharapkan oleh guru dalam proses pendidikan siswa. Selain itu, stimulus yang diberikan juga harus dilakukan terus-menerus kepada siswa dan juga guru memperhatikan respon yang diberikan siswa dari stimulus yang diberikan sehingga perubahan perilaku.

2.    Social Cognitive Theory

Bandura dalam Schunk (2012:165) menjelaskan bahwa perubahan yang terjadi pada diri manusia tidak hanya dipengaruhi dan didorong oleh oleh kekuatan dalam diri seseorang saja atau didorong dan dikendalikan oleh rangsangan internal saja, namun perubahan yang terjadi dalam diri seseorang terjadi karena beberapa factor antara lain adalah 1) Person (factor dorongan internal), 2) Behavior (dipengaruhi oleh dukungan dari luar dirinya), dan 3) Situation (kondisi yang memungkinkan untuk melakukan perubahan). Tiga faktor yang saling berinteraksi tersebut memberikan keyakinan (Self-efficacy) akan kemampuan siswa mengorganisaiskan apa yang ia dapat dalam belajar.

Aplikasi dalam pembelajaran yaitu ketika guru memberikan sebuah pelajaran kepada siswa, siswa memikirkan apa yang dikatakan gurunya (lingkungan mempengaruhi kognisi), lalu ketika siswa tidak mengerti tentang penjelasan guru, siswa mengangkat tangan untuk bertanya (kognisi mempengaruhi perilaku), selanjutnya guru mengulang penjelasanya (perilaku mempengaruhi lingkungan). Selanjutnya guru memberikan tugas kepada siswa (lingkungan mempengaruhi kognisi, dan kemudian mempengaruhi perilaku), dan siswa mengerjakanya dengan baik (perilaku mempengaruhi kognisi).

3.    Cognitive Information Processing

Teori ini mengedepankan bahwa individu memanipulasi, memonitor, dan menyusun strategi terhadap informasi –informasi yang ditemukanya. Teori ini hampir serupa dengan teori Vygotsky. Dalam teori pemrosesan informasi, tidak mendeskripsikan perkembangan dalam dala bentuk tahapan, melainkan secara bertahap individu mengembangkan kapasitasnya untuk memperoleh pengetahuan dan keterampilanya secara kompleks (Santrock, 2012:29). Menurut Robert Siegler dalam Santrock (2012:29) ketika individu menangkap, encoding, menampilkan, menyimpan dan mengeluarkan kembali informasi maka mereka sedang berfikir. Aspek penting dari perkembangan adalah pembelajaran mengenai strategi yang baik untuk memproses informasi.
Sebagai seorang guru sebaiknya menggunakan strategi yang tepat dalam membelajarkan siswa, karena dalam proses belajar itulah pemrosesan informasi berlangsung. Tanpa strategi pembelajaran yang baik dan menarik, tidak akan ada pemrosesan informasi yang maksimal karena proses menangkap, encoding, menampilkan, menyimpan tidak berlangsung secara maksimal.

4.    Meaningful Learning Theory

Teori pembelajaran bermakna diperoleh oleh Ausubel. Ausubel dalam Dale H. Schunk menjelaskan bahwa belajar menjadi bermakna ketika materi yang baru memiliki hubungan sistematis dengan konsep-konsep yang relevan dalam memori jangka panjang (Long Term Memory). Yang berarti bahwa materi baru memperluas, memodifikasi, atau mengembangkan informasi dalam memori. Ausubel mendukung pengajaran deduktif, dimana ide-ide umum diajarkan terlebih dahulu baru diikuti poin-poin spesifik. Dalam hal ini guru harus membantu siswa memecahkan ide-ide menjadi poin-poin kecil dan spesifik, dan menghubungkan ide-ide baru dengan muatan yang serupa di dalam memori. Tujuan dari pembelajaran yang bermakna menurut Ausubel adalah mengembangkan jaringan proporsi dalam LTM dengan menambahkan pengetahuan dan membangun hubungan antar jaringan. Jadi guru menurut teori Ausubel memegang peranan yang besar untuk membukka memori jangka panjang siswa, memodifikasi model, memperluas pengetahuan memori menjadi memori baru yang lebih kompleks.

5.    Developmental Approach

Pendekatan perkembangan merupakan rangkaian teori perkembangan yang sangat kompleks, karena didalamnya banyak teori yang landasann utama dari perkembangan yaitu teori biologi, psikoanalitik, perilaku, kognitif, dan kontekstual (Meece dalam Dale H. Schunk, 2012:611). Menurut teori biologi, individu berjalan melalui urutan tahapan yang tidak bervariasi. Teori psikoanalitik menjelaskan bahwa kunci proses perkembangan menampilkan serangkaian perubahan di dalam kepribadian yang dibawa oleh pemenuhan kebutuhan. Tahapan memiliki sifat yang berbeda secara kualitatif. Pencetus teori ini adalah Sigmund Freud dan Eric Ericson. Anak berinteraksi dengan lingkungan untuk memenuhi kebutuhan, dan keberhasilan mereka dalam menyelesaikan konflik berhubungan dengan pemenuhan kebutuhan yang mempengaruhi kepribadian. Teori perilaku menjelaskan bahwa perubahan perkembangan utama terjadi sebagai akibat dari pengkondisian. Teori perilaku ini menjelaskan bahwa perubahan utama dalam perilaku berasal dari lingkungan, yang memberikan stimulus yang direspon anak dan pelaksanaan hukuman sebagai konsekuensi tindakan mereka.

Teori kognitif berfokus pada perkembangan yang menampilkan perubahan dalam struktur mental atau proses yang terjadi saat individu menerima informasi dan secara mental menyusun pemahaman. Teori kognitif bersifat interaktif karena teori ini menjelaskan perkembangan dalam interaksi antara faktor pribadi perilaku dan lingkungan. Pendukung dari teori kognitif ini adalah teori piaget, Bruner, Vygotsky, Teori pengolahan informasi, dan teori kognitif sosial. Dalam teori Piaget dijelaskan bahwa pemahaman yang dimiliki siswa dipengaruhi oleh tahap-tahap perkembanganya yaitu tahap sensorimotor (0-2 tahun), tahap praoperasional konkret (2-7 tahun), tahap operasional konkret (7-12 tahun), dan tahap operasional formal (12-dewasa). Teori kontekstual menjelaskan bahwa faktor sosial dan budaya mempengaruhi perkembangan. Perubahan dalam diri seseorang atau situasi berinteraksi dan memengaruhi perubahan lainnya. Teori psikososial dicetuskan oleh Bronfenbrenner yang menjelaskan bahwa dunia sosial anak dapat dikonsepkan sebagai satu set lingkaran yang saling bersinggungan  yaitu antara sekolah, teman dan keluarga.

6.    Social Formation Theory

Teori ini dikembangkan oleh seorang psikolog yang bernama Lev Vygotsky. Teori informasi sosial fokus pada proses sosial dan budaya yang mengarahkan pada perkembangan kognitif anak. Teori ini menekankan pada keterlibatan aktif anak pada lingkunganya, pertumbuhan kognitif sebagai sebuah proses kolaborasi, dan setiap individu belajar melalui interaksi sosial. Mereka mendapatkan keterampilan kognitif sebagai bagian dari pengenalan tentang cara hidup. Berbagai aktivitas, membantu anak menginternalisasi mode-mode lingkungan sosial untuk berfikir dan berperilaku dan memproses mereka untuk membuat cara mereka sendiri. Menurut Vygotsky, orang dewasa atau teman sebaya yang lebih maju terus membantu mengarahkan dan mengatur belajar anak sebelum anak dapat menguasai dan menginternalisasi dalam diri anak. Pedoman ini mendukung anak untuk melewati Zone of Proximan Development (ZPD) atau zona perkembangan proximal. ZPD adalah celah seorang anak antara apa yang telah berhasil dilakukan oleh dirinya sendiri dan apa yang bisa dicapainya karena pendampingan dari orang sekitarnya. Instruksi yang sensitif dan efektif harus diberikan oleh orang di skeitarnya hingga kemudian anak bisa memonitor dan mengarahkan tahapan belajarnya sendiri. Hal ini disebut Scaffolding yaitu dukungan sementara dari orang tua, guru, dll yang diberikan ke anak untuk melakukan tugasnya hingga anak bisa melakukanya sendiri.



7.    Representation and Discovery learning

Representation merupakan penjelasan kembali atau penjelasan ulang mengenai apa yang pernah diingat atau dijelaskan terdahulu. Aplikasinya dalam pendidikan adalah bahwa seorang guru dapat mengingatkan kembali tentang sesuatu yang pernah diajarkanya dahulu, materi sebelumnya, ingatan masa lalu, yang biasa dilakukan,dll untuk mengawali pemberian informasi baru kepada peserta didik. Informasi baru yang diterima siswa nantinya merupakan pengembangan dari pendidikan atau ilmu yang pernah dimiliki oleh siswa sebelumnya. Setelah siswa mengingat kembali dengan bantuan guru melalui media apapun, selanjutnya adalah tahap pengembangan informasi baru dengan menggunakan teknik Discovery Learning.

Discovery Learning merupakan bentuk aplikasi dari teori umum konstrutivistik yang didukung oleh beberapa tokoh besar seperti John Dewey, Vygotsky dan Jerome Bruner. Menurut John Dewey pembelajaran di sekolah harus bersifat aktif, langsung terlibat, dan berpusat pada siswa dalam konteks pengalaman sosial. Selain itu, menurut John Dewey dalam Sugihartono,dkk (2013: 323) belajar bergantung pada pengalaman dan minat siswa sendiri serta topik dalam kurikulum yang seharusnya saling terintegrasi bukan terpisah atau tidak punya kaitan satu sama lain. Selain itu Jerome Bruner juga menjelaskan bahwa pembelajaran bukan ditentukan dari usia namun ditentukan dari proses yang dilakukan untuk belajar. Belajar akan lebih diterima jika siswa menemukan sendiri konsep pembelajaran yang diberikan dengan proses dan metode yang tepat yang dilakukan gurunya. Misalnya guru menggunakan metode PBL dimana kegiatan dimodifikasi untuk menemukan solusi dari masalah yang diberikan guru atau siswa untuk mencoba sendiri praktik yang sesuai dengan pembelajaran yang diberikan. Dari sini konsep akan ditemukan siswa sendiri dan dipahami karena siswa tidak hanya melihat penjelasan guru tetapi juga mempraktikannya sendiri.

8.    Constructivist Approach

Menurut Cobb & Bowers dalam Dale H. Schunk (2012: 323) Konstruktivisme menyoroti interaksi orang-orang dan situasi-situasi dalam penguasaan dan penyempurnaan keterampilan-keterampilan dan pengetahuan. Konstruktivisme memiliki asumsi yang senada dengan teori kognitif sosial yang menyatakan bahwa orang, perilaku, dan lingkungan berinteraksi secara timbal balik. Teori ini didukung oleh beberapa tokoh antara lain John Dewey, Jean Piaget, Jerome Bruner, dan Lev Vigotsky. John Dewey berpendapat bahwa belajar bergantung pada pengalaman dan minat siswa sendiri serta topik dalam kurikulum yang seharusnya saling terintegrasi bukan terpisah atau tidak punya kaitan satu sama lain. Belajar harus bersifat aktif, langsung terlibat, dan berpusat pada siswa dalam konteks pengalaman sosial. Contoh pembelajaran guru dapat menggunakan kegiatan PBL.

Menurut Jean Piaget, pengamatan sangat penting dan menjadi dasar dalam menuntun proses berfikir anak, berbeda dengan kegiatan melihat yang hanya melibatkan mata, pengamatan melibatkan seluruh indra, menyimpan kesan lebih lama dan menimbulkan sensasi yang membekas pada siswa. Dalam pembelajaran diharapkan siswa mengalami dan terlibat langsung dalam pembelajaran. Menurut Piaget dalam Sugihartono (2013:110) proses belajar terdiri dari 3 tahapan yaitu asimilasi, akomodasi dan equilibrasi (penyeimbangan). Selanjutnya adalah Jerome Bruner yang menyatakan bahwa belajar lebih ditentukan oleh cara mengatur materi pembelajaran dan bukan ditentukan oleh umur seseorang.  Bruner menjelaskan bahwa terdapat 3 perkembangan anak dalam belajar yaitu tahap enaktif (0-3 tahun), ikonik (3-8 tahun), dan simbolik (>8 tahun). Lev Vygotsky menjelaskan bahwa belajar bagi anak dilakukan dalam interaksi dengan lingkungan sosial maupun fisik. Selain itu pembelajaran juga bersifat Scaffolding yaitu memberikan keterampilan yang penting untuk pemecahan masalah secara mandiri dengan siswa. Dengan dukungan lingkungan, siswa dapat mencapai Zone of Proximal Development yaitu tahap belajar dimana anak telah berhasil belajar dengan caranya sendiri dan apa yang bisa dicapainya dengan dukungan dan pendampingan dari lingkungan.

9.    Social Approach

Menurut Aning Buddyartie pendekatan sosial merupakan pendekatan yang memperhatikan faktor lingkungan sebagai lingkungan tinggal individu dalam perkembanganya. Titik pangkal dari sosial Approach ialah masyarakat dengan berbagai lembaganya, dan kelompok dengan berbagai aktivitas. Seperti dengan namanya, sosial approach merupakan suatu pendekatan dimana sosial merupakan faktor yang paling berpengaruh dari kegiatannya. Pendekatan sosial merupakan ilmu yang diturunkan dari berbagai teori sosial baik teori kognitif sosial maupun teori sosial lainya.  Pendukung dari teori ini antara lain teori behaviorisme, teori kognitif sosial, teori informasi sosial dan teori Lev Vygotsky. Beberapa teori tersebut mendasari perkembangan seseorang dipengaruhi oleh lingkungan, dan banyak faktor luar.

Misalnya dalam teori kogntiif sosial Bandura, menjelaskan bahwa pendidikan bukan hanya dipengaruhi dari dalam diri siswa sendiri namun dari lingkungan yang salah satunya adalah guru. Guru atau pendidik memiliki peran yang sangat penting dalam pembelajaran sebagai fasilitator yang menjembatani teori abstrak dari para ahli agar sampai kepada peserta didik dan dapat tersimpan dalam memori sebagai kegiatan yang bermakna. Dalam hal ini guru harus dapat merancang pembelajaran dengan semenarik mungkin, membuat kegiatan pembelajaran dimana siswa tidak hanya melihat namun beraktifitas juga dalam kegaitan tersebut. Dengan hal ini siswa dapat berinteraksi dengan pembelajaran secara langsung.

10.     Technological Approach

Berasal dari teori psikologis kecerdasan, Howard Gardner menjelaskan bahwa teknologi dapat mendukung penyampaiaan di bidang pendidikann di dalam kelas. Menurut Howard Gardner kecerdasan seseorang terdiri dari beberapa titik yaitu kecerdasan linguistik, kecerdasan logis matematis, kecerdasan spasial, kecerdasan kinestetik atau jasmani, kecerdasan musikal, kecerdasan interpersonal, kecerdasan intreapersonal, dan kecerdasan naturalistik. Berbagai kecerdasan tersebut tidak dimiliki oleh semua siswa namun menonjol salah satu pada diri siswa. Sebagai guru kita harus mampu memahami kecerdasan apa yang yang dimiliki siswa, dan bagaimana guru bisa menggunakan dan mengembangkan kecerdasan tersebut dalam pembelajaran.

Menurut Gardner, teknologi dapat sangat membantu untuk mencari solusi dalam menyampaikan materi sesuai dengan kecerdasan siswa. Teknologi dapat digunakan sebagai sumber belajar guru maupun siswa, sebagai media, sebagai inovasi, maupun tambahan informasi. Gardner menjelaskan bahwa mustahil seorang guru dapat menerapkan pembelajaran tradisional dalam ruang kelas dan dapat mengakomodasi gaya belajar puluhan siswa jika tanpa teknologi. Dengan teknologi, guru dapat menyediakan alat dan belajar yang sesuai dengan kecerdasan siswa.

B.  Menghubungkan berbagai macam Teori Belajar/Alur Pikir siswa tersebut dan mampu menjelaskan baik secara lisan maupun tertulis.

Dari berbagai teori yang ada tersebut dapat disimpulkan bahwa masing-masing teori masih saling berhubungan. Teori behaviorisme, teori kognitif sosial, teori pemrosesan informasi, teori pembelajaran bermakna, dan teori formasi sosial merupakan 5 teori besar yang digunakan sebagai teori besar dalam bidang pendidikan. Dalam bidang pendidikan bukan kognitif saja sebagai tujuanya, namun ada banyak perubahan yang mendukungnya yaitu perubahan tingkah laku para peserta didik, sikap peserta didik, dan juga kognitif. Karena yang diharapkan berubah dalam pendidikan bukanlah hanya kepintaran atau IQ semata, namun ada hal-hal lain di bidang sosial yang harus dikembangkan. Selain itu, untuk menjadikan pendidikan bisa tercapai dari sisi kognitif, afektif, dan psikomotor, seorang guru harus dapat mengolah pembelajaran menjadi pembelajaran yang bermakna bagi siswa seperti yang diharapkan oleh teori pembelajaran bermakna. Pembelajaran bermakna merupakan pembelajaran yang dapat tersimpan dalam memori jangka panjang siswa.
Untuk menurunkan teori-teori tersebut menjadi aplikasi dalam pembelajaran membutuhkan beberapa pendekatan seperti pendekatan perkembangan, pendekatan konstruktifistik, pendekatan sosial, dan juga pendekatan teknologi. Pendekatan perkembangan menjelaskan bagaimana tahap-tahap perkembangan siswa sesuai dengan usianya untuk bisa dipahami oleh guru sebagai acuan dalam mendidik siswa. Pendekatan konstruktifistik mempelajari bagaimana sebaiknya pembelajaran dibangun oleh siswa. Pendekatan sosial menekankan bahwa dalam pendidikan perubahan terjadi bukan hanya dibangun dari diri siswa saja namun juga karena pengaruh lingkungan antara lain lingkungan keluarga, lingkungan teman, lingkungan sekolah, lingkungan kelas, lingkungan rumah,dll. Pendidikan juga tidak dapat seterusnya berjalan dengan kegiatan kontektual di dalam kelas karena anak memiliki multiple intelegency yang harus dipahami oleh guru dan dikembangkan.

Beberapa intelegensi siswa tersebut sebaiknya digunakan dalam pembelajaran untuk memudahkan siswa menerima materi yang diberikan oleh gurunya. Salah satu cara adalah dengan bantuan teknologi, karena dengan teknologi kita dibantu untuk membuat berbagai media dan kegiatan yang sesuai dengan intelegensi siswa, sesuai dengan karakter siswa, dan dapat bervariasi juga. Dengan berbagai penjelasan tersebut dapat disimpulkan bahwa pendidikan merupakan sesuatu yang kompleks yang didalamnya terkandung berbagai macam faktor yang mempengaruhinya, antara lain :

1.  Kemauan dari diri siswa itu sendiri untuk berubah, untuk belajar. Kesenangan, keceriaan, keingintahuan siswa yang akan membuat siswa mudah menerima pembelajaran.
2.    Apa yang dilakukan guru. Dalam hal ini tugas guru adalah sebagai motivator, sebagai ide utama untuk menjalankan pembelajaran. Bagaimana pembelajaran terbentuk semua tergantung inovasi, dan kemauan guru untuk merubahnya. Banyak metode yang bisa dilakukan guru seperti PBL, Colaborative Learning, dll yang dapat mengaktifkan siswa karena siswa akan lebih bermakna jika dia tidak hanya melihat dan mendengarkan saja, namun dia mencoba sendiri dan menemukan sendiri pemahaman konsepnya. Dalam hal fasilitas pembelajaran juga menjadi pikiran guru agar kegiatan pembelajaran berjalan dengan baik.
3.    Lingkungan sekitar siswa juga merupakan pendukung besar dalam perubahan pendidikan. Bagaimana orang tua membimbing siswa di rumah, bagaimana lingkungan rumahnya dalam belajar juga akan mendukung semangat atau tidaknya siswa dalam belajar.


Kesimpulann utama adalah bahwa berbagai macam teori ini saling berhubungan dalam perkembangan siswa baik dalam hal kognitif, perilaku, kontekstual, psikoanalitik,dan biologi. Guru sebagai orang tua di sekolah memiliki peranan yang sangat besar pada perubahan siswa. Untuk mencapai perubahan yang baik guru harus dapat membuat pembelajaran menjadi bermakna, menjadi Long Term Memory. Pembelajaran juga membutuhkan banyak teknologi terkini untuk membuat variasi pada aplikasi pembelajaran. 

C. Peta konsep menurut berbagai teori dan pendekatan


D.  Peta konsep menurut alur pikir siswa


A.  Sumber
Dale H. Schunk. 2012. Learning Theories An Educational Perspective. Jakarta : Pustaka Pelajar. (Buku Terjemahan).
Diane E. Papalia & Ruth Duskin Feldman. 2015. Menyelami Perkembangan Manusia. Jakarta : Salemba Humanika. (Buku Terjemahan)
John S. Santrock. 2014. Life-Span Development. Jakarta : Erlangga (Buku Terjemahan)

PROSES LEARNING DAN TEACHING TRAJECTORY

Refleksi kuliah Pengembangan Learning Trajectory Pendidikan Dasar, mahasiswa pascasarjana Universitas Negeri Yogyakarta Program Study Pendidikan Dasar Konsentrasi Praktisi (Guru Kelas) pada pertemuan ke 8, Hari Rabu 8 April 2015 yang dilaksanakan pada pukul 07.00-08.40 WIB di ruang 200B gedung lama pascasarjana, Universitas Negeri Yogyakarta dengan dosen Prof. Dr. Marsigit, M.A.
Perkuliahan dibuka dengan membaca basmalah dan presensi mahasiswa.

Perkuliahan dimulai masukan nasehat, bahwa sebagai manusia yang berilmu harus dapat menyesuaikan ruang dan waktu. Dapat menempatkan suasana dan kondisi yang ada. Lalu, disemangati lagi untuk sering-sering membaca dengan ikhlas, karena tugas sebagai mahasiswa adalah belajar. Dan belajar memahami sesuatu ilmu haruslah dimulai dari niat dan keikhlasan. Blog yang ada dibaca oleh mahasiswa merupakan referensi perkuliahan yang sangat bermanfaat. Karena manusia bukanlah sebuah komputer yang akan diketahui kapan sebuah ilmu masuk dan terekam dalam memori. Jika komputer terdeteksi ada sesuatu yang masuk, maka akan ada signal atau tanda, namun manusia jika bertambah keilmuwanya tidak akan disadari oleh dirinya sendiri. Tambahnya ilmu dalam diri manusia bisa melalui belajar, membaca, memahami, dan akhirnya tersimpan dalam diri kita sebagai memori.


Learning trajectory merupakan sebuah ilmu yang berpasangan dengan Teaching trajectory, dimana Learni Trajectory adalah adalah ilmu yang mempelajari bagaimana pembelajaran sebaiknya berlangsung dan Teaching Trajectory merupakan ilmu yang mempelajari bagaimana sebaiknya guru bersikap dalam pembelajaran. Learning Trajectory dan Teaching Trajectory jika ditarik sebuah garis imaginer akan terdapat dua garis lurus keatas dan dua garis lurus kebawah. Garis keatas berisi filsafat, sedangkan garis lurus ke bawah berisi material. Garis imajiner membagi semua hal menjadi dua bagian, yaitu bagian atas dan bawah. Pembagian tersebut dapat terlihat dalam tabel berikut.


Dari bagan diatas terlihat jelas perbedaan bagian atas dan bawah. Bagian atas merupakan sebuah wadah atau tempat yang dijadikan pedoman utama dan dapat dikatakan sebagai filsafatnya pendidikan, sedangkan bagian abwah adalah bagian material, dimana disini berisi aplikasi atau bentuk nyata dari wadah-wadah tersebut. Bagian atas tersebut dapat berbentuk seperti bagian yang ada dibawah ini karena mengalami proses hermenitika yaitu proses menerjemahkan dan diterjemahkan dengan berbagai cara. Misalnya karena saling mempelajari, dipelajari, dilakukan penelitian, usaha untuk menerjemahkan dan diterjemahkan,dll.

Sebagai seorang pendidik nantinya harus selalu melakukan hermenitika hidup secara kontinu, secara rutin, dan berusaha selalu. Guru merupakan seseorang yang ahli dalam bidang pendidikan dan dibekali oleh ilmu untuk menyampaikan dan mengolah ilmu sesuai dengan ruang dan waktunya peserta didik. Jadi, agar pembelajaran dapat berjalan dengan baik, sesuaikan pembelajaran dengan karakteristik siswa. Bagaimana mengetahui karakteristik siswa yang bervariasi adalah dengan cara menerjemahkan dan diterjemahkan, dengan cara proses, pendekatan, dilakukan secara rutin dengan anak-anak dan disesuaikan juga dengan karakteristik peserta didik sesuai dengan usia. Sebagai seorang guru diharapkan juga dapat mengolah ilmu pengetahuan yang diperoleh mejadi pengetahuan yang dapat diterima siswa. 

Misalnya untuk mengajarkan ilmu pengetahuan untuk siswa sekolah dasar yang berada pada tahap operasional konkret menurut Jean Piaget kita harus dapat menyampaikan ilmu yang abstrak tersebut menjadi konkret (nyata) di hadapan peserta didik. Dapat menggunakan bawang-barang disekitar siswa untuk lebih mudah menstranfer informasi kepada peserta didik. Dari pengalaman nyata yang dimiliki siswa, siswa dapat memahami, membayangkan dan juga membantu menyelesaikan masalahnya dalam kehidupan sehari-hari berkaitan dengan ilmu yang kita berikan. Menjadikan pembelajaran menjadi bermakna merupakan tujuan dari sebuah pembelajaran.