PETA KONSEP
MENGENAI ALUR PIKIR SISWA DALAM BELAJAR
Oleh :
SASI MARDIKARINI
NIM 14712251004
PRODI PENDIDIKAN DASAR
KONSENTRASI PRAKTISI (GURU KELAS)
A. Review mengenai berbagai macam theory atau alur pikir
siswa
1. Behaviorism
Theory
Teori belajar behavioristik
adalah sebuah teori yang dicetuskan oleh Skinner. Dalam teori ini, dijelaskan
bahwa perubahan tingkah laku pada diri anak terjadi karena adanya interaksi
antara stimulus dan respon (Slavin, 2000:143). Manurut Skinner, hubungan
stimulus dan respon yang terjadi tersebut melalui interaksi antara
lingkunganya, dan kemudian menimbulkan perubahan perilaku pada diri anak
tidaklah sesederhana yang dikemukakan. Skinner
berpendapat antar stimulus yang diberikan juga saling berinteraksi/ berpengaruh
hingga terjadinya sebuah respon. Respon-respon yang dihasilkan juga akan
memberikan konsekuensi-konsekuensi tertentu dan berbeda-beda. Konsekuensi
inilah yang nantinya akan mempengaruhi munculnya perilaku yang diinginkan.
Maka
dari itu, guru harus dapat memberikan
stimulus yang baik kepada peserta didik, dapat berupa motivasi, semangat,
masukan, bantuan, fasilitator,dll agar nantinya antar stimulus yang baik
tersebut akan muncul respon yang baik yaitu respon yang diharapkan oleh guru
dalam proses pendidikan siswa. Selain itu, stimulus yang diberikan juga harus
dilakukan terus-menerus kepada siswa dan juga guru
memperhatikan respon yang diberikan siswa dari stimulus yang diberikan sehingga
perubahan perilaku.
2. Social Cognitive Theory
Bandura dalam Schunk (2012:165)
menjelaskan bahwa perubahan yang terjadi pada diri manusia tidak hanya
dipengaruhi dan didorong oleh oleh kekuatan dalam diri seseorang saja atau
didorong dan dikendalikan oleh rangsangan internal saja, namun perubahan yang
terjadi dalam diri seseorang terjadi karena beberapa factor antara lain adalah
1) Person (factor dorongan internal), 2) Behavior (dipengaruhi oleh dukungan
dari luar dirinya), dan 3) Situation
(kondisi yang memungkinkan untuk melakukan perubahan). Tiga faktor yang saling berinteraksi tersebut memberikan
keyakinan (Self-efficacy) akan kemampuan siswa mengorganisaiskan apa yang ia
dapat dalam belajar.
Aplikasi dalam pembelajaran yaitu ketika guru memberikan sebuah pelajaran
kepada siswa, siswa memikirkan apa yang dikatakan gurunya (lingkungan
mempengaruhi kognisi), lalu ketika siswa tidak mengerti tentang penjelasan
guru, siswa mengangkat tangan untuk bertanya (kognisi mempengaruhi perilaku), selanjutnya
guru mengulang penjelasanya (perilaku mempengaruhi lingkungan). Selanjutnya
guru memberikan tugas kepada siswa (lingkungan mempengaruhi kognisi, dan
kemudian mempengaruhi perilaku), dan siswa mengerjakanya dengan baik (perilaku
mempengaruhi kognisi).
3. Cognitive Information Processing
Teori ini mengedepankan bahwa individu memanipulasi, memonitor, dan
menyusun strategi terhadap informasi –informasi yang ditemukanya. Teori ini
hampir serupa dengan teori Vygotsky. Dalam teori pemrosesan informasi, tidak
mendeskripsikan perkembangan dalam dala bentuk tahapan, melainkan secara
bertahap individu mengembangkan kapasitasnya untuk memperoleh pengetahuan dan
keterampilanya secara kompleks (Santrock, 2012:29). Menurut Robert Siegler
dalam Santrock (2012:29) ketika individu menangkap, encoding, menampilkan, menyimpan dan mengeluarkan kembali informasi
maka mereka sedang berfikir. Aspek penting dari perkembangan adalah
pembelajaran mengenai strategi yang baik untuk memproses informasi.
Sebagai seorang guru sebaiknya menggunakan strategi yang tepat dalam
membelajarkan siswa, karena dalam proses belajar itulah pemrosesan informasi
berlangsung. Tanpa strategi pembelajaran yang baik dan menarik, tidak akan ada
pemrosesan informasi yang maksimal karena proses menangkap, encoding, menampilkan, menyimpan tidak
berlangsung secara maksimal.
4. Meaningful Learning Theory
Teori pembelajaran bermakna diperoleh oleh Ausubel. Ausubel dalam Dale H.
Schunk menjelaskan bahwa belajar menjadi bermakna ketika materi yang baru memiliki
hubungan sistematis dengan konsep-konsep yang relevan dalam memori jangka
panjang (Long Term Memory). Yang berarti bahwa materi baru memperluas,
memodifikasi, atau mengembangkan informasi dalam memori. Ausubel mendukung
pengajaran deduktif, dimana ide-ide umum diajarkan terlebih dahulu baru diikuti
poin-poin spesifik. Dalam hal ini guru harus membantu siswa memecahkan ide-ide
menjadi poin-poin kecil dan spesifik, dan menghubungkan ide-ide baru dengan
muatan yang serupa di dalam memori. Tujuan dari pembelajaran yang bermakna
menurut Ausubel adalah mengembangkan jaringan proporsi dalam LTM dengan
menambahkan pengetahuan dan membangun hubungan antar jaringan. Jadi guru
menurut teori Ausubel memegang peranan yang besar untuk membukka memori jangka
panjang siswa, memodifikasi model, memperluas pengetahuan memori menjadi memori
baru yang lebih kompleks.
5. Developmental Approach
Pendekatan perkembangan merupakan rangkaian teori perkembangan yang sangat
kompleks, karena didalamnya banyak teori yang landasann utama dari perkembangan
yaitu teori biologi, psikoanalitik, perilaku, kognitif, dan kontekstual (Meece
dalam Dale H. Schunk, 2012:611). Menurut teori biologi, individu berjalan
melalui urutan tahapan yang tidak bervariasi. Teori psikoanalitik menjelaskan bahwa
kunci proses perkembangan menampilkan serangkaian perubahan di dalam
kepribadian yang dibawa oleh pemenuhan kebutuhan. Tahapan memiliki sifat yang
berbeda secara kualitatif. Pencetus teori ini adalah Sigmund Freud dan Eric
Ericson. Anak berinteraksi dengan lingkungan untuk memenuhi kebutuhan, dan
keberhasilan mereka dalam menyelesaikan konflik berhubungan dengan pemenuhan
kebutuhan yang mempengaruhi kepribadian. Teori perilaku menjelaskan bahwa
perubahan perkembangan utama terjadi sebagai akibat dari pengkondisian. Teori
perilaku ini menjelaskan bahwa perubahan utama dalam perilaku berasal dari
lingkungan, yang memberikan stimulus yang direspon anak dan pelaksanaan hukuman
sebagai konsekuensi tindakan mereka.
Teori kognitif berfokus pada perkembangan yang menampilkan perubahan dalam
struktur mental atau proses yang terjadi saat individu menerima informasi dan
secara mental menyusun pemahaman. Teori kognitif bersifat interaktif karena
teori ini menjelaskan perkembangan dalam interaksi antara faktor pribadi
perilaku dan lingkungan. Pendukung dari teori kognitif ini adalah teori piaget,
Bruner, Vygotsky, Teori pengolahan informasi, dan teori kognitif sosial. Dalam
teori Piaget dijelaskan bahwa pemahaman yang dimiliki siswa dipengaruhi oleh
tahap-tahap perkembanganya yaitu tahap sensorimotor (0-2 tahun), tahap
praoperasional konkret (2-7 tahun), tahap operasional konkret (7-12 tahun), dan
tahap operasional formal (12-dewasa). Teori kontekstual menjelaskan bahwa
faktor sosial dan budaya mempengaruhi perkembangan. Perubahan dalam diri
seseorang atau situasi berinteraksi dan memengaruhi perubahan lainnya. Teori
psikososial dicetuskan oleh Bronfenbrenner yang menjelaskan bahwa dunia sosial
anak dapat dikonsepkan sebagai satu set lingkaran yang saling bersinggungan yaitu antara sekolah, teman dan keluarga.
6. Social Formation Theory
Teori ini dikembangkan oleh seorang psikolog yang bernama Lev Vygotsky.
Teori informasi sosial fokus pada proses sosial dan budaya yang mengarahkan
pada perkembangan kognitif anak. Teori ini menekankan pada keterlibatan aktif
anak pada lingkunganya, pertumbuhan kognitif sebagai sebuah proses kolaborasi,
dan setiap individu belajar melalui interaksi sosial. Mereka mendapatkan
keterampilan kognitif sebagai bagian dari pengenalan tentang cara hidup.
Berbagai aktivitas, membantu anak menginternalisasi mode-mode lingkungan sosial
untuk berfikir dan berperilaku dan memproses mereka untuk membuat cara mereka
sendiri. Menurut Vygotsky, orang dewasa atau teman sebaya yang lebih maju terus
membantu mengarahkan dan mengatur belajar anak sebelum anak dapat menguasai dan
menginternalisasi dalam diri anak. Pedoman ini mendukung anak untuk melewati
Zone of Proximan Development (ZPD) atau zona perkembangan proximal. ZPD adalah
celah seorang anak antara apa yang telah berhasil dilakukan oleh dirinya
sendiri dan apa yang bisa dicapainya karena pendampingan dari orang sekitarnya.
Instruksi yang sensitif dan efektif harus diberikan oleh orang di skeitarnya
hingga kemudian anak bisa memonitor dan mengarahkan tahapan belajarnya sendiri.
Hal ini disebut Scaffolding yaitu dukungan sementara dari orang tua, guru, dll
yang diberikan ke anak untuk melakukan tugasnya hingga anak bisa melakukanya
sendiri.
7. Representation
and Discovery learning
Representation merupakan penjelasan kembali atau penjelasan ulang mengenai
apa yang pernah diingat atau dijelaskan terdahulu. Aplikasinya dalam pendidikan
adalah bahwa seorang guru dapat mengingatkan kembali tentang sesuatu yang
pernah diajarkanya dahulu, materi sebelumnya, ingatan masa lalu, yang biasa
dilakukan,dll untuk mengawali pemberian informasi baru kepada peserta didik.
Informasi baru yang diterima siswa nantinya merupakan pengembangan dari
pendidikan atau ilmu yang pernah dimiliki oleh siswa sebelumnya. Setelah siswa
mengingat kembali dengan bantuan guru melalui media apapun, selanjutnya adalah
tahap pengembangan informasi baru dengan menggunakan teknik Discovery Learning.
Discovery Learning merupakan bentuk aplikasi dari teori umum
konstrutivistik yang didukung oleh beberapa tokoh besar seperti John
Dewey, Vygotsky dan Jerome Bruner. Menurut John Dewey pembelajaran di
sekolah harus bersifat aktif, langsung terlibat, dan berpusat pada siswa dalam
konteks pengalaman sosial. Selain itu, menurut John Dewey dalam Sugihartono,dkk
(2013: 323) belajar bergantung pada pengalaman dan minat siswa sendiri serta
topik dalam kurikulum yang seharusnya saling terintegrasi bukan terpisah atau
tidak punya kaitan satu sama lain. Selain itu Jerome Bruner juga menjelaskan
bahwa pembelajaran bukan ditentukan dari usia namun ditentukan dari proses yang
dilakukan untuk belajar. Belajar akan lebih diterima jika siswa menemukan
sendiri konsep pembelajaran yang diberikan dengan proses dan metode yang tepat
yang dilakukan gurunya. Misalnya guru menggunakan metode PBL dimana kegiatan
dimodifikasi untuk menemukan solusi dari masalah yang diberikan guru atau siswa
untuk mencoba sendiri praktik yang sesuai dengan pembelajaran yang diberikan. Dari
sini konsep akan ditemukan siswa sendiri dan dipahami karena siswa tidak hanya
melihat penjelasan guru tetapi juga mempraktikannya sendiri.
8. Constructivist Approach
Menurut Cobb & Bowers dalam Dale H. Schunk (2012: 323) Konstruktivisme
menyoroti interaksi orang-orang dan situasi-situasi dalam penguasaan dan
penyempurnaan keterampilan-keterampilan dan pengetahuan. Konstruktivisme
memiliki asumsi yang senada dengan teori kognitif sosial yang menyatakan bahwa
orang, perilaku, dan lingkungan berinteraksi secara timbal balik. Teori ini
didukung oleh beberapa tokoh antara lain John Dewey, Jean Piaget, Jerome
Bruner, dan Lev Vigotsky. John Dewey berpendapat bahwa belajar bergantung pada
pengalaman dan minat siswa sendiri serta topik dalam kurikulum yang seharusnya
saling terintegrasi bukan terpisah atau tidak punya kaitan satu sama lain.
Belajar harus bersifat aktif, langsung terlibat, dan berpusat pada siswa dalam
konteks pengalaman sosial. Contoh pembelajaran guru dapat menggunakan kegiatan
PBL.
Menurut Jean Piaget, pengamatan sangat penting dan menjadi dasar dalam
menuntun proses berfikir anak, berbeda dengan kegiatan melihat yang hanya
melibatkan mata, pengamatan melibatkan seluruh indra, menyimpan kesan lebih
lama dan menimbulkan sensasi yang membekas pada siswa. Dalam pembelajaran
diharapkan siswa mengalami dan terlibat langsung dalam pembelajaran. Menurut
Piaget dalam Sugihartono (2013:110) proses belajar terdiri dari 3 tahapan yaitu
asimilasi, akomodasi dan equilibrasi (penyeimbangan). Selanjutnya adalah Jerome
Bruner yang menyatakan bahwa belajar lebih ditentukan oleh cara mengatur materi
pembelajaran dan bukan ditentukan oleh umur seseorang. Bruner menjelaskan bahwa terdapat 3
perkembangan anak dalam belajar yaitu tahap enaktif (0-3 tahun), ikonik (3-8
tahun), dan simbolik (>8 tahun). Lev Vygotsky menjelaskan bahwa belajar bagi
anak dilakukan dalam interaksi dengan lingkungan sosial maupun fisik. Selain
itu pembelajaran juga bersifat Scaffolding
yaitu memberikan keterampilan yang penting untuk pemecahan masalah secara
mandiri dengan siswa. Dengan dukungan lingkungan, siswa dapat mencapai Zone of Proximal Development yaitu tahap
belajar dimana anak telah berhasil belajar dengan caranya sendiri dan apa yang
bisa dicapainya dengan dukungan dan pendampingan dari lingkungan.
9. Social Approach
Menurut Aning Buddyartie pendekatan sosial merupakan pendekatan yang
memperhatikan faktor lingkungan sebagai lingkungan tinggal individu dalam
perkembanganya. Titik pangkal dari sosial
Approach ialah masyarakat dengan berbagai lembaganya, dan kelompok dengan
berbagai aktivitas. Seperti dengan namanya, sosial
approach merupakan suatu pendekatan dimana sosial merupakan faktor yang
paling berpengaruh dari kegiatannya. Pendekatan sosial merupakan ilmu yang
diturunkan dari berbagai teori sosial baik teori kognitif sosial maupun teori
sosial lainya. Pendukung dari teori ini
antara lain teori behaviorisme, teori kognitif sosial, teori informasi sosial
dan teori Lev Vygotsky. Beberapa teori tersebut mendasari perkembangan
seseorang dipengaruhi oleh lingkungan, dan banyak faktor luar.
Misalnya dalam teori kogntiif sosial Bandura, menjelaskan bahwa pendidikan
bukan hanya dipengaruhi dari dalam diri siswa sendiri namun dari lingkungan
yang salah satunya adalah guru. Guru atau pendidik memiliki peran yang sangat
penting dalam pembelajaran sebagai fasilitator yang menjembatani teori abstrak
dari para ahli agar sampai kepada peserta didik dan dapat tersimpan dalam memori
sebagai kegiatan yang bermakna. Dalam hal ini guru harus dapat merancang
pembelajaran dengan semenarik mungkin, membuat kegiatan pembelajaran dimana
siswa tidak hanya melihat namun beraktifitas juga dalam kegaitan tersebut. Dengan
hal ini siswa dapat berinteraksi dengan pembelajaran secara langsung.
10. Technological Approach
Berasal dari teori psikologis kecerdasan, Howard Gardner menjelaskan bahwa
teknologi dapat mendukung penyampaiaan di bidang pendidikann di dalam kelas. Menurut
Howard Gardner kecerdasan seseorang terdiri dari beberapa titik yaitu
kecerdasan linguistik, kecerdasan logis matematis, kecerdasan spasial,
kecerdasan kinestetik atau jasmani, kecerdasan musikal, kecerdasan
interpersonal, kecerdasan intreapersonal, dan kecerdasan naturalistik. Berbagai
kecerdasan tersebut tidak dimiliki oleh semua siswa namun menonjol salah satu
pada diri siswa. Sebagai guru kita harus mampu memahami kecerdasan apa yang yang
dimiliki siswa, dan bagaimana guru bisa menggunakan dan mengembangkan
kecerdasan tersebut dalam pembelajaran.
Menurut Gardner, teknologi dapat sangat membantu untuk mencari solusi dalam
menyampaikan materi sesuai dengan kecerdasan siswa. Teknologi dapat digunakan
sebagai sumber belajar guru maupun siswa, sebagai media, sebagai inovasi,
maupun tambahan informasi. Gardner menjelaskan bahwa mustahil seorang guru
dapat menerapkan pembelajaran tradisional dalam ruang kelas dan dapat
mengakomodasi gaya belajar puluhan siswa jika tanpa teknologi. Dengan teknologi,
guru dapat menyediakan alat dan belajar yang sesuai dengan kecerdasan siswa.
B. Menghubungkan berbagai macam
Teori Belajar/Alur Pikir siswa tersebut dan mampu menjelaskan baik secara lisan
maupun tertulis.
Dari berbagai teori yang ada tersebut dapat disimpulkan
bahwa masing-masing teori masih saling berhubungan. Teori behaviorisme, teori
kognitif sosial, teori pemrosesan informasi, teori pembelajaran bermakna, dan
teori formasi sosial merupakan 5 teori besar yang digunakan sebagai teori besar
dalam bidang pendidikan. Dalam bidang pendidikan bukan kognitif saja sebagai
tujuanya, namun ada banyak perubahan yang mendukungnya yaitu perubahan tingkah
laku para peserta didik, sikap peserta didik, dan juga kognitif. Karena yang
diharapkan berubah dalam pendidikan bukanlah hanya kepintaran atau IQ semata,
namun ada hal-hal lain di bidang sosial yang harus dikembangkan. Selain itu,
untuk menjadikan pendidikan bisa tercapai dari sisi kognitif, afektif, dan
psikomotor, seorang guru harus dapat mengolah pembelajaran menjadi pembelajaran
yang bermakna bagi siswa seperti yang diharapkan oleh teori pembelajaran
bermakna. Pembelajaran bermakna merupakan pembelajaran yang dapat tersimpan
dalam memori jangka panjang siswa.
Untuk menurunkan teori-teori tersebut menjadi aplikasi
dalam pembelajaran membutuhkan beberapa pendekatan seperti pendekatan
perkembangan, pendekatan konstruktifistik, pendekatan sosial, dan juga pendekatan
teknologi. Pendekatan perkembangan menjelaskan bagaimana tahap-tahap
perkembangan siswa sesuai dengan usianya untuk bisa dipahami oleh guru sebagai
acuan dalam mendidik siswa. Pendekatan konstruktifistik mempelajari bagaimana
sebaiknya pembelajaran dibangun oleh siswa. Pendekatan sosial menekankan bahwa
dalam pendidikan perubahan terjadi bukan hanya dibangun dari diri siswa saja
namun juga karena pengaruh lingkungan antara lain lingkungan keluarga,
lingkungan teman, lingkungan sekolah, lingkungan kelas, lingkungan rumah,dll. Pendidikan
juga tidak dapat seterusnya berjalan dengan kegiatan kontektual di dalam kelas
karena anak memiliki multiple intelegency
yang harus dipahami oleh guru dan dikembangkan.
Beberapa intelegensi siswa tersebut sebaiknya digunakan
dalam pembelajaran untuk memudahkan siswa menerima materi yang diberikan oleh
gurunya. Salah satu cara adalah dengan bantuan teknologi, karena dengan
teknologi kita dibantu untuk membuat berbagai media dan kegiatan yang sesuai
dengan intelegensi siswa, sesuai dengan karakter siswa, dan dapat bervariasi
juga. Dengan berbagai penjelasan tersebut dapat disimpulkan bahwa pendidikan
merupakan sesuatu yang kompleks yang didalamnya terkandung berbagai macam
faktor yang mempengaruhinya, antara lain :
1. Kemauan dari diri
siswa itu sendiri untuk berubah, untuk belajar. Kesenangan, keceriaan,
keingintahuan siswa yang akan membuat siswa mudah menerima pembelajaran.
2.
Apa yang dilakukan
guru. Dalam hal ini tugas guru adalah sebagai motivator, sebagai ide utama
untuk menjalankan pembelajaran. Bagaimana pembelajaran terbentuk semua tergantung
inovasi, dan kemauan guru untuk merubahnya. Banyak metode yang bisa dilakukan
guru seperti PBL, Colaborative Learning, dll yang dapat mengaktifkan siswa
karena siswa akan lebih bermakna jika dia tidak hanya melihat dan mendengarkan
saja, namun dia mencoba sendiri dan menemukan sendiri pemahaman konsepnya. Dalam
hal fasilitas pembelajaran juga menjadi pikiran guru agar kegiatan pembelajaran
berjalan dengan baik.
3.
Lingkungan sekitar
siswa juga merupakan pendukung besar dalam perubahan pendidikan. Bagaimana
orang tua membimbing siswa di rumah, bagaimana lingkungan rumahnya dalam
belajar juga akan mendukung semangat atau tidaknya siswa dalam belajar.
Kesimpulann utama adalah bahwa berbagai macam teori ini saling berhubungan
dalam perkembangan siswa baik dalam hal kognitif, perilaku, kontekstual,
psikoanalitik,dan biologi. Guru sebagai orang tua di sekolah memiliki peranan
yang sangat besar pada perubahan siswa. Untuk mencapai perubahan yang baik guru
harus dapat membuat pembelajaran menjadi bermakna, menjadi Long Term Memory. Pembelajaran juga membutuhkan banyak teknologi
terkini untuk membuat variasi pada aplikasi pembelajaran.
C. Peta konsep menurut berbagai teori dan pendekatan
D. Peta konsep menurut alur pikir siswa
A. Sumber
Dale H. Schunk.
2012. Learning Theories An Educational
Perspective. Jakarta : Pustaka Pelajar. (Buku Terjemahan).
Diane E. Papalia & Ruth Duskin Feldman. 2015. Menyelami Perkembangan Manusia. Jakarta
: Salemba Humanika. (Buku Terjemahan)
John S. Santrock. 2014. Life-Span Development. Jakarta : Erlangga (Buku Terjemahan)